Pertama kali dengar nama ikan depik, benak saya langsung mengasosiasikannya dengan kata “depict” yang berarti menggambarkan. Saya sempat merasa geli dengan diri saya sendiri, tapi semakin kesini saya merasa ada benarnya juga. Rasanya kurang gimana gitu kalau memahami ikan depik semata sebagai ikan endemis Danau Laut Tawar.
Ikan ini, kalau kita mau sedikit melihat dengan sudut pandang alternatif, sesungguhnya merupakan bagian dari puzzle yang membentuk gambaran utuh tentang suku Gayo. Ikan depik sejak dahulu melekat dalam kuliner masyarakat dataran tinggi Gayo yang secara natural merupakan petani, nelayan sekaligus peternak. Keberadaan masakan depik bersanding dengan kuliner favorit gayo lainnya yang berkarakter vegie seperti pucuk jipang.
Entah dimana saya pernah membaca kalau sejarah manusia ikut diwarnai oleh jenis makanannya. Khusus soal depik, kamu perlu melihat jauh sejarah bagaimana suku Gayo dahulu menangkar ikan depik. Pengetahuan tentang ini ditambah dengan pengamatan corak kuliner Gayo yang bersumber dari sayur-sayur yang ditanam sendiri atau daging kerbau yang mereka ternakkan membuat saya melihat sisi kedekatan dan kecintaan alamiah suku Gayo terhadap alam. Suatu tradisi konservasi.
Ikan depik, dahulu ditangkap dengan sebuah cara yang mengikuti irama alamiah danau laut tawar, bukan dijala atau dipancing sebagaimana lazimnya para nelayan memperoleh ikan. Cara itu dikenal dengan istilah didisen, semacam karamba yang di desain sedemikian rupa sehingga penangkapan ikan depik hampir tidak pernah mengganggu populasinya di danau Laut Tawar selama ratusan tahun.
Diperbarui : 13 Apr 2021