Suatu masa sekitar abad 16 seorang Pangeran dari kesultanan Demak
bernama Raden Made Pandan beserta sang putra Raden Pandanarang pergi
meninggalkan istana untuk mencari wilayah baru untuk ditempati. Setelah
berhari-hari melakukan perjalanan akhirnya mereka tiba di daerah Bergota lalu
mendirikan pondok pesantren dan membuka lahan pertanian.
Daerah itu semakin subur dan ramai, banyak orang yang datang untuk
menuntut ilmu agama Islam. Suatu hari ketika Pangeran Pandanarang bersama
pengikutnya sedang bercocok tanam, ia keheranan melihat pohon asam yang tumbuh
saling berjauhan. Sejak saat itulah ia menamai daerah yang ia tempati
‘Semarang’ yang berarti asem jarang-jarang.
Sejak ratusan tahun silam Semarang menjadi salah satu kota pelabuhan di pulau Jawa, The Port of Java. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi budaya etnis warga pribumi dan pendatang di Semarang. Antara lain etnis Cina, Jawa, Arab, pesisir, dan keturunan. Percampuran ini mempengaruhi berbagai aspek seperti ragam kesenian, sajian kuliner, sisi religi dan bentuk arsitektural.
Saya menjelajahi Semarang penuh rasa ingin tahu, meskipun tak sulit menemukan jejak masa lalu di sini. Akulturasi budaya yang masih tersisa, Semarang serasa tak di dominasi oleh etnis atau agama tertentu. Meskipun faktanya lebih banyak etnis Jawa dan mayoritas muslim. Corak etnis dan budaya seolah dengan sendirinya pudar oleh aura kota tua ini.
Ya, Semarang adalah kota tua, meski lupa berapa usia kota ini, saya dengan mudah bisa tahu betapa tua usia kota ini saat berhasil mencapai kawasan Kota Lama Semarang. Semarang Old Town, nama kerennya sekarang.
Sekitar abad 18 kawasan ini ramai menjadi pusat perdagangan, pemerintahan dan permukiman khusus bangsa Belanda. Berdiri di atas lahan seluas 31 hektare, dikelilingi benteng dan kanal-kanal menjadikan Kota Lama serupa dengan miniatur negeri Belanda di Semarang, sehingga mendapat julukan Outstadt atau Little Netherland. Kawasan Kota Lama berada dekat dengan stasiun dan pelabuhan sebagai bagian vital untuk menunjang bidang perdagangan.
Begitu melangkahkan kaki, saya langsung dibuat takjub. Sebanyak kurang lebih 50 bangunan masih berdiri kokoh dengan konsep rancangan kota menyerupai bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar abad pertengahan. Bukti itu tampak jelas terlihat dari pintu dan jendela berukuran besar, bentuk atap yang unik dan kaca berwarna di setiap jendela.
Tata letak Kota Lama Semarang dirancang dengan konsep pola radial dengan gereja sebagai titik sentralnya. Gereja yang saya maksud adalah gereja Immanuel atau gereja Blenduk yang berada di pertemuan 3 jalan. Gereja Blenduk bernama asli Nederlandsch Indische kerk.
Gereja ini masih aktif berfungsi sebagai sarana ibadah sekaligus menjadi landmark Kota Semarang. Dibangun pada tahun 1753 oleh bangsa Portugis, awalnya gereja ini berbentuk rumah panggung beratap tajuk. Barulah pada 1894 – 1895, H. P. A de Wilde dan W. Westmas membangun kembali gereja dengan menambahkan menara, kolom Tuscan, gevel, dan hiasan puncak.
Saya sungguh terpesona pada keanggunan gereja ini. Kubah bundarnya berkulit tembaga yang besar begitu menonjol dan menarik perhatian. Empat tiang penyangga yang tinggi dan kokoh bergaya Tuscan. Jendela kaca patri serta pintu ganda berpanel kayu menghadap ke selatan. Cornice yang ada di sekeliling bangunan berbentuk garis-garis mendatar dengan dua buah menara berkubah kecil turut menghiasi kemegahan gereja. Banyak wisatawan berswafoto di area ini termasuk saya.
Di depan gereja Blenduk, terdapat taman Srigunting yang dulunya sering digunakan untuk parade militer di zaman kolonial. Namun, saat ini telah berubah menjadi taman asri ditumbuhi pepohonan rindang untuk bersantai, berkumpul atau menggelar acara komunitas. Saya jadi membayangkan, ketika para meneer berlalu lalang berinteraksi dengan warga lokal menjalankan aktivitas dagang, kira-kira seperti apa ya?
Tak jauh dari Taman Srigunting, kira-kira 100 meter berjalan kaki terdapat Semarang Contemporary Art Gallery, sebuah galeri seni yang memamerkan hasil kreasi seni berupa kriya, foto, lukis, maupun patung oleh para seniman legendaris Indonesia. Dari catatan yang terpampang di dalam galeri, bangunan tua ini diketahui telah mengalami banyak pemugaran, serta pernah dirobohkan sebelum akhirnya dibangun kembali dengan pengaruh arsitektur gaya Spanish Colonial. Pada 2007, seorang kolektor seni, bernama Chris Darmawan, melakukan pemugaran, lalu setahun kemudian berdirilah Semarang gallery.
Terdapat beberapa aturan wajib ditaati oleh para tamu pengunjung antara lain, tidak boleh membawa makanan dan minuman, dilarang menyentuh berbagai macam karya seni yang dipamerkan. Turis diperbolehkan untuk berswafoto di dalam galeri selama tidak mengganggu ketertiban umum. Semarang Contemporary Art Gallery buka pada Selasa-Minggu dari pukul 10.00 WIB – 16.30 WIB. Anda cukup membayar Rp 10 ribu saja sebagai biaya kontribusi.
Di Kota Lama nan eksotik dengan mudahnya kita berbaur dengan masa lalu. Melangkahkan kaki di antara gedung-gedung tinggi besar dan klasik yang pernah berfungsi sebagai kantor notaris, bank, kantor konsulat, kantor penerbit, perusahaan perkebunan, klub-klub, kantor polisi, pengadilan negeri, hotel. Saat ini sebagian besar bangunan tersebut sudah berhasil direnovasi dan beralih fungsi.
Salah satunya menjadi restoran klasik dengan sajian menu lokal yang menggugah selera yaitu restoran Ikan Bakar Cianjur yang berada tepat berseberangan dengan gereja Blenduk. Destinasi kuliner lainnya yang juga berada tak jauh dari Gereja Blenduk adalah warung Sate & Gule Kambing 29 yang telah melegenda sejak 1945. Anda harus antri terlebih dahulu saking banyaknya pengunjung yang datang.
Ada satu tempat lagi yang benar-benar memancing minat perhatian saya. Bangunan itu konon katanya sudah berusia 120 tahun, dipenuhi tanaman merambat di setiap dindingnya yang kusam dan retak. Namun, bayangan seram itu langsung sirna, malah saya dibuat terpana karena saat ini telah berubah drastis menjadi sebuah restoran bergaya Spanish colonial. Spiegel Bar & Resto berdiri tinggi menjulang menghadap ke selatan, dengan bentuk model jendela melengkung berpanel kaca dan kayu, juga pintu berdaun ganda sehingga membuat pengunjung tidak kepanasan.
Saya duduk di salah satu ruang sudut berdekatan dengan jendela, menatap pemandangan dari dalam sekaligus merasakan ambience gedung kuno eropa. Menu hidangan yang disajikan pun serba western. Alunan musik akustik menambah hangatnya suansa. Pramusaji menyapa dengan ramah, saya lalu memesan greek salad seharga 40 ribu dan mocktail Virgin Mojito seharga 30 ribu. Cuaca panas khas Semarang membuat saya makan dengan lahap.
Sebagai informasi, rute akses menuju Kota Lama terbilang cukup mudah. Dari arah Demak (kota) Anda bisa mengambil arah Terminal Terboyo menuju Jalan Raden Patah, waktu yang dibutuhkan sekitar 1 jam. Apabila dari arah Ungaran, ambil arah Banyumanik – Peterongan – Jalan MT Haryono – Bundaran Mbubakan – Jalan Cenderawasih – Kota Lama Semarang. Waktu yang dibutuhkan sekitar 50 menit.
Untuk wisatawan yang datang dari jalur barat, bisa mengambil arah mangkang – Bundaran Kali Banteng (masuk kota) – Bundaran Tugu Muda dan Lawang Sewu – Jalan Pemuda – Pasar Johar (belok kiri jalan terus) – Kota Lama Semarang. Jika wisatawan tiba dari stasiun Poncol atau Tawang, aksesnya lebih mudah lagi Anda tinggal menggunakan angkot yang melintas di depan stasiun tujuan pasar Johar, lalu meminta untuk diturunkan di Kota Lama.
Selepas puas mengganjal perut di restoran bergaya Eropa, saya melanjutkan perjalanan dengan berkunjung ke Pasar Klitikan. Pasar ini cukup terkenal karena menjual aneka barang antik dan kuno. Para pedagang semula berjualan di Jalan Srigunting namun saat ini sudah dipindah ke gedung PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) tepatnya di belakang gereja Blenduk, membuat siapa pun nyaman berjalan-jalan karena bersih dan nyaman.
Lapak pedagang berjejer rapi di sisi kanan dan kiri dari pintu masuk. Benda antik yang dijual pun macam-macam. Ada uang kuno, piring kuno, lampu, lonceng, koper, lukisan, setrika arang, dan masih banyak benda kuno yang bisa Anda temukan. Yang perlu diingat, harus pintar-pintar menawar jangan asal banting harga.
Perjalanan saya menjelajahi waktu di Kota Lama Semarang belum lengkap rasanya sebelum mencium aroma kopi. Ada beberapa coffee shop di kawasan Kota Lama, yang bisa Anda pilih antara lain Tekodeko Koffihuise, Covare Coffee Semarang, Serikat Dagang Kopi Kota Lama Semarang, Toko Kopi Sukajaya, Filosofi Kopi. Saya memilih coffee shop yang terakhir.
Sebagai warung kopi yang sebelumnya telah sukses di Jakarta dan Yogyakarta, saya pun dibuat penasaran untuk mencicipi kenikmatan secangkir kopi di dalam sebuah gedung berstruktur klasik eropa dengan penataan interior vintage. Saya memesan kopi andalan Filosofi Kopi yaitu Perfecto. Rasanya memang sungguh perfect!
Tak terasa hari telah senja. Saatnya beristirahat
sejenak sebelum melanjutkan agenda perjalanan berikutnya esok hari. Untuk
keperluan akomodasi ada beberapa hotel yang menawarkan fasilitas lengkap tak
kalah seperti hotel-hotel mahal lainnya. Namun, untuk membangkitkan kembali
nuansa peradaban zaman kolonial, hotel yang saya pesan pun masih berada di
kawasan Kota Lama dan memiliki dekorasi unik dan kuno.
Hotel Raden Patah berada di Jalan Jendral Suprapto 48, Semarang. Hotelnya memang tidak terkenal tapi saya tertarik menginap di sini karena meski bangunannya tua dan kuno namun apik terawat serta terjaga kebersihannya. Kamar hotel juga bersih, kasurnya besar dan nyaman. Tamu hotel juga mendapatkan snack di pagi hari berupa teh dan camilan ringan. Tarifnya berkisar dari Rp 75,000- Rp 150,000/ malam. Baiklah, perjalanan hari ini selesai, saya akan tidur dengan nyenyak malam ini. Sampai bertemu di perjalanan saya berikutnya esok pagi.
Diperbarui : 02 Apr 2021
Tulisan yang menarik. Jadi ingin jalan-jalan ke semarang. Semoga pandemi ini segera berakhir. Btw, ditinggu tayangan tulisan-tulisan yang menarik lainnya.