Satu kata ketika saya menginjakkan kaki di area rumah adat Tongkonan Pallawa; MEGAH! Perjalanan panjang saya dari Jawa terasa worth it setelah melihat kemegahan arsitektur rumah ini. Pallawa sebenarnya merupakan sebuah kompleks pemukiman tradisional di Toraja yang isinya dipenuhi deretan rumah tongkonan beserta alang (lumbung).
Pemukiman Pallawa berada di Desa Pallawa, Kecamatan Sesean - Toraja Utara. Kira-kira berjarak sekitar 12 km dari Rantepao.
Saat saya berjalan menyusuri deretan rumah ini, sudah banyak atap bambu yang ditumbuhi tanaman paku-pakuan. Suasana mendung, dan tingginya atap yang membumbung tinggi berbentuk perahu itu mengingatkan saya pada kisah kejayaan nenek moyang dulu sebagai pelaut. Warna ornamen-ornamen bangunan pun juga mulai pudar karena tertutup oleh debu tipis. Tapi inilah yang membuat saya kagum dengan magisnya suasana Tana Toraja. Tanah magis yang dikisahkan oleh beberapa teman saya.
Kisah Dibalik Rumah Adat Tongkonan Pallawa
Menurut beberapa cerita, asal muasal berdirinya desa ini diawali oleh seorang pria bernama To Madao dari Buntu Sasean. Ia adalah penghuni pertama area ini. Di tanah pallawangan (tanah tak berpenghuni) ini, ia bertemu dengan Membura Bubun yang kemudian ia nikahi. Dari pernikahan ini, kemudian lahirlah empat anak bernama Ne' Totaru, Ne' Nawa, Salombe serta Possengon. Sekitar tahun 1788, rumah tongkonan pertama dibangun di sini diikuti oleh keturunan yang lainnya sehingga jadilah Tongkonan Palla seperti yang kita lihat sekarang.
Meski demikian, suasana magis yang saya rasakan ini juga dibenarkan oleh kisah berdarah di masa lalu, tentang bagaimana area ini dibangun. Satu versi cerita mengatakan kalau Tomadao menikah dengan Tallo's Mangka Kalena dan melahirkan anak lelaki pertama Datu Muane'. Saat itu mereka bermukim di area timur tepatnya di Desa Pallawa yang kini dikenal dengan Kulambu.
Datu Muane' tadi kemudian menikahi seorang perempuan bernama Lai Rangri' yang kemudian memiliki keturunan dan akhirnya membangun kampung sebagai benteng pertahanan.
Nah, di area tongkonan inilah sebuah tradisi lahir saat peperangan antar kampung terjadi. Apa bila kampung tersebut diserang, kemudian berhasil dikalahkan, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang. Dari sinilah lahir tradisi Pa'lawak.
Namun, pada pertengahan abad XI, tradisi baru disepakati dimana darah manusia ini diganti dengan ayam sehingga disebut Palawa' Manuk. Semenjak saat itu, bukan lagi daging dan darah manusia yang dimakan. Entah mana yang benar, saya percaya kalau tanah ini dibangun dengan darah dan keringat oleh orang Toraja.
Filosofi Rumah Adat Tongkonan
Dalam sebuah buku Injil dan Tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi yang ditulis oleh Theodorus Kobong, kata tongkonan ini berasal dari kata tongkon yang artinya menyatakan belasungkawa/duduk. Karena itulah rumah adat tongkonan bukan hanya sekedar rumah, tapi tempat keluarga bertemu untuk menjalankan ritual adat hingga tempat teristimewa bagi para leluhur. Selain itu, penentuan dasar hukum adat ditentukan di sini. Jadi nantinya pemangku adat yang tinggal di sini akan menentukan eksekusinya.
Kompleks Pemukiman Tradisional Rumah Tongkonan
Dalam kompleks pemukiman tradisional di sini, ada empat elemen yaitu tongkonan, kemudian rante (tempat upacara), liang (tempat pemakaman), alang (lumbung) dan sisanya adalah hutan bambu, kebun serta sawah.
Bentuk Rumah Tongkonan
Tongkonan merupakan bangunan berbentuk persegi panjang pada bagian dasar rumah, sementara atap membentuk perahu dengan pinisi. Mirip rumah orang Padang, tapi ada hal yang membedakan seperti bahan atap hingga arah rumah yang condong ke arah utara. Beberapa orang menyamakan atap rumah tongkonan dengan tanduk kerbau. Dari sini saja, saya tidak heran kenapa rumah ini terlihat estetis kalau difoto dari arah mana saja. Saya juga jadi paham kenapa (katanya) rumah tongkonan dipilih jadi sumber inspirasi ikon ExoVillage.
Rahasia Awetnya Tongkonan Sampai Ratusan Tahun
Sebelumnya orang Toraja ini membangun rumah dengan menggunakan dua tiang yang disanggakan ke arah tebing kemudian dipasangi daun di bagian atapnya. Setelah itu, berubah ke tiang segitiga dan terakhir seperti yang kita kenal sekarang dengan empat tiang.
Rahasia dibalik awetnya rumah-rumah suku Toraja ternyata ada pada bahannya. Mereka menggunakan bahan pilihan seperti kayu besi atau kayu aru yang telah berusia puluhan tahun. Selain itu, pengambilan pohonnya juga dilakukan secara adat. Untuk bagian atapnya terbuat dari bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga bisa tahan air. Pada bagian paling atas adalah daun kelapa.
Fakta menarik tentang rumah adat ini adalah biayanya. Untuk membangun satu tongkonan saja, diperlukan biaya sekitar 1 milyar. Kebayang kalau ada belasan tongkonan biayanya berapa. Ini belum masuk printilan kecil lainnya!
Tanduk Kerbau Sebagai Penanda Status
Hal yang paling membuat saya bertanya-tanya adalah susunan tanduk kerbau di depan rumah. Ternyata, jumlah tanduk yang tersusun dari atas ke bawah ini menandakan derajat keluarga. Hal ini juga melambangkan kekayaan ekonomi pemilik rumah karena setiap upacara penguburan, mereka akan mengorbankan kerbau dengan jumlah yang besar. Ornamen tanduk ini diberi empat warna dasar yaitu hitam (kematian), kuning (anugerah ilahi), merah (kehidupan manusia) dan putih (kesucian).
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kentalnya tradisi ini ketika upcara adat digelar. Belum lagi budget yang harus dikeluarkan. Sayangnya, saya kurang beruntung sebab tidak bisa melihat secara langsung upacara sakral yang terkenal megah dan magis tersebut.
Diperbarui : 01 Sep 2021