Pacuan Kuda Gayo, ribuan penonton selalu membanjiri acara tahunan ini. Tak ada data resmi tentang jumlah pengunjung event ini, beberapa warga Takengon yang saya tanya memberi jawaban dengan ilustrasi berupa macetnya jalan-jalan utama saat event berlangsung. Ada pula yang memberi perkiraan dari pendapatan parkir kendaraan yang – menurut kabar – bisa mencapai belasan juta rupiah per hari.
Meski masih sering diidentikkan dengan kota Takengon, pacu kude tradisi Gayo ini sekarang rutin diadakan di 3 kabupaten : Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Peserta dan pengunjung terutama datang dari tiga kabupaten yang identik dengan suku Gayo tersebut. Jadi, meski sudah mengalami banyak modifikasi, event ini belum kehilangan kekuatan tradisionalnya sebagai ajang hiburan dan perekat masyarakat Gayo.
Berawal dari Pacuan Kuda "Liar"
Saya tahu kata “liar” terdengar agak berlebihan dan mungkin dianggap kurang pas. Tapi hanya kata ini yang bisa mewakili persepsi saya tentang sejarah awal pacuan kuda Gayo. Liar bukan dalam arti negatif, namun “liar” dalam arti berawal dari spontanitas, sebagai hiburan paska panen sekaligus adu gagah antar anak muda Gayo tahun 1850.
Sepintas saya teringat balap motor liar yang sekarang sering dilakukan anak muda jaman now. Sarat adrenalin, maskulin dan penuh resiko.
Kamu bisa bayangkan nuansa maskulin perlombaan yang awalnya dilakukan pemuda-pemuda Gayo dipesisir timur Danau Lut Tawar ini ; untuk persiapan pacu kude, anak-anak muda itu menangkap kuda yang berseliweran dengan opoh kerung (kain sarung) dan joki harus bertelanjang dada saat berlaga. Tak ada hadiah yang diperebutkan selain gah ( harga diri) sebagai pemenang pacuan.
Barangkali bagi anak-anak muda itu pacu kude juga hiburan pelepas lelah paska panen padi. Sejak awal pacuan kuda Gayo memang dilakukan saat lues beurame (paska panen), yang dipacu pun kuda-kuda yang sebelumnya jadi alat transportasi atau pembajak sawah.
Empat Kali Pindah Arena Pacuan
Seiring waktu, pacuan kuda berubah jadi kegiatan rutin saat lues beurame, biasanya di bulan Agustus. Usai pacu kude, masyarakat menggelar luah munoling, sebuah tradisi syukuran paska panen padi. Biaya syukuran ini biasanya ditanggung bersama-sama oleh warga (bergenepen), baik berupa uang maupun bahan makanan. Hingga tahun 1912 pacuan kuda dihelat di pantai Menye, Kecamatan Bintang. Di pesisir timur Danau Laut Tawar itu kuda-kuda dilombakan pada trek lurus sepanjang kira-kira 1,5 Km.
Belakangan pihak kolonial Belanda menaruh minat pada tradisi pacu kude ini, mungkin karena terlihat menyatukan masyarakat di dataran tinggi Gayo. Mereka lantas mengadakan pacuan kuda tahunan di Takengon sejak Agustus 1912. Pacuan kuda ini juga menandai awal perpindahan arena dari Pantai Menye ke area yang sekarang merupakan jalan Aman Dimot. Pada pacuan kuda 1912 ini pula untuk pertama kalinya pemenang pacuan memperoleh hadiah materi, saat itu berupa piagam dan jam beker.
Tercatat di kemudian hari arena pacuan kembali berpindah, kali ini ke Blang Kolak. Hingga tahun 2001 pacu kude di Takengon masih dihelat di tempat yang sekarang bernama lapangan Musara Alun tersebut. Karena pengunjung semakin banyak, tahun 2002 Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah memindahkan pacu kude ke arena yang lebih luas yaitu lapangan Blang Bebangka di Kecamatan Pegasing.
Kuda Gayo dan Kuda Astaga
Kuda Gayo, kuda endemis dataran tinggi Gayo, punya ciri menyerupai kuda poni : pendek. Tak heran anak – anak bisa dengan mudah menjadi joki pacu kude sejak tahun 1850, setidaknya mereka tak kesulitan naik ke punggung kuda. Hingga tahun 2000an, kuda Gayo ini satu-satunya jenis kuda yang dipertandingkan..
Jenis kuda baru ikut dilibatkan setelah munculnya kuda peranakan hasil kawin silang dengan kuda yang didatangkan pemerintah setempat dari Padang dan Australia. Entah apa sebabnya, pada 1995 pemerintah setempat memulai program yang kemudian menghasilkan kuda jenis baru yang kerap disebut Kuda Astaga, singkatan dari Australia – Gayo. Kuda Astaga dikenal memiliki fisik lebih tinggi dan kemampuan berlari lebih kencang dibandingkan Kuda Gayo. Hanya kedua jenis kuda ini yang hingga kini masih diperbolehkan ikut berlaga di pacuan kuda tradisional Gayo. Alhasil, setelah 169 tahun pacu kude di dataran tinggi Gayo bukan saja masih bertahan, namun juga tak kehilangan spirit tradisinya
Jadwal Pacuan Kuda Gayo Kini
Pacuan kuda kini tak hanya rutin dihelat di Takengon, secara bertahap dua kabupaten lain yang dihuni mayoritas suku Gayo ikut mengadakannya sebagai tradisi tahunan. Di Bener Meriah, pacuan kuda tradisional Gayo mulai diselenggarakan sejak tahun 2006. Umumnya pada bulan Januari sebagai rangkaian peringatan HUT Kabupaten yang beribukota Simpang Tiga Redelong ini. Lokasi arena berada dekat dengan Bandar Udara Rembele, yaitu di lapangan Sengeda.
Sementara di Kabupaten Gayo Lues, pacu kude tahunan telah dilakukan sejak tahun 2002. Bertempat di lapangan Buntul Nege, pacuan kuda tradisional di Gayo Lues umumnya diadakan dua kali dalam setahun. Pertama, pada bulan April seiring peringatan HUT Kabupaten ini dan kedua, pada bulan Agustus dalam rangka HUT Republik Indonesia.
Di Takengon sendiri, pacuan kuda tradisional diadakan dua kali setiap tahunnya. Selain bulan Agustus, pacu kude juga dilakukan setiap peringatan HUT Kabupaten Aceh Tengah pada bulan Februari. Meski sama-sama di bulan Agustus, entah bagaimana tanggal pacu kude di Aceh Tengah tidak pernah bersamaan dengan Gayo Lues. Menariknya, ada semacam kerjasama di antara ketiga kabupaten tersebut ; setiap kabupaten akan selalu mengirimkan peserta untuk pacuan kuda tradisional yang dihelat di kabupaten lain. Demikian pun pengunjung setiap jadwal pacuan umumnya di dominasi warga ketiga kabupaten itu. Pacu kude, dengan demikian, tampak masih ampuh jadi pemersatu suku Gayo
Diperbarui : 23 Mar 2021